Tuesday, February 22, 2005

Jangan Putus Asa, Puteri!

Pelangi itu tidak seceria dulu, mata itu tidak sejelita dulu
Cerahnya palsu, tawanya semu, senyumnya tak semerekah dulu
Lincah gerak tubuhnya, kini tak terbias lagi
Kaku bak terbujur kafan

Pandangannya kosong, hampa dan tak menghunjam lagi
Kini….semuanya berubah mendung, suram tak bercahaya
Kurasakan ada sesuatu dari dirinya yang hilang
Sekeping hatinya yang lugu kini sedang terluka
Dirinya yang tegar dan mandiri, kini jatuh dan terhempas
kasihan sekali bila kulihat raut wajahnya
Garis-garis kedukaan itu tampak jelas di matanya

Kenapa secepat itu kau terpuruk?
Tenggelam dalam kekecawaan yang mendalam
hingga kau
tanggalkan semua asa dan cita-cita
Di mana gelora hatimu yang senantiasa hidup?
Kau tebar kebahagiaan untuk semua orang
Senantiasa menjadi inspirasiku untuk memaknai rasa
Dan menyelami hatimu yang seluas samudera

Puteri,
Jangan kau sembunyikan pilu itu

Jangan kau pendam kekecewaanmu itu
Masih ada mentari esok yang senantiasa menyinarimu
Masih ada bahuku untuk kau bersandar dan melepas tangis
Masih ada Sang Penyayang yang kan menyeka airmatamu

Bila dunia tidak lagi di pihakmu,
Bila manusia tak lagi memperdulikanmu,
Yakinilah…..
Ujian yang sedang menerpamu kini
tuk membuatmu lebih bijak memandang hidup
Tuhan sedang menguji keteguhan dan kesabaranmu
Tak usah menyesali apa telah yang telah terjadi
Hikmah yang kan kau temukan nanti
Itulah kebahagiaanmu yang sesungguhnya!

DUNIA KECILKU

Empat dinding sudut ruang ini adalah…
Saksi bisu masa kecilku hingga kini aku dewasa
Meninggalkan sejuta cerita suka dan duka keluargaku
Tempat aku terbaring menangis melepas segala beban hati,
Tempat aku tertawa riang berkumpul bersama saudara-saudaraku,
Ketika aku bercengkrama manis dengan ibu
Ketika aku berbagi cerita dan cinta bersama adikku
Ruang inilah tempatnya…
Menjadi tempat aku berlari ketika aku kesepian, merasa tidak aman, dan ingin sendirian.
Pun menjadi tempat ketika kuberniat melakukan sesuatu untuk dunia,
Tiap bagian ruang ini sudah aku hafal betul
Besi ranjang yang usianya hampir sama dengan ibuku,
dinding dari bilik bambu yang kini sudah diganti dengan batu bata,
lantai karpet yang kini sudah diberi ubin merah,
pintunya yang sampai sekarang hanya ditutupi tirai tipis…
kapan diganti dengan pintu yang bisa dikunci? Tanya adikku,
lemari plastik hadiah dari kakakku bertengger indah di sudut kanan.
Gambar-gambar tempelan yang sudah beberapa kali ganti
Masih sama…empat dinding ini …empat dinding…..
Mengulang peristiwa-peristiwa manis bersama saudara-saudaraku, yang kini……
Satu persatu pergi membuka lembaran baru.
Tapi aku, masih terpaku di sini menatap ruang ini,..
Indah….ingin ku ulang tapi aku harus melangkah……..
Aku pun akan membuka lembar baru di tempat rantau
Di kota Bandung, kota besar, tempat kelak ku akan menuntut ilmu.
Selamat tinggal empat dindingku, selamat tinggal masa laluku!

Puisi Untuk Ibu

Di kala resah ini kian mendesah dan menggalaukan jiwaku
Kau ada di sana …
Di saat aku terluka
hingga akhirnya…tercabik-cabiklah keteguhan hatiku
Kau masih ada di sana…

Ketika aku lelah dan semangatku patah untuk meneruskan perjuangan,
terhenti oleh kerikil –kerikil yang kurasa terlampau tajam
hingga akhirnya aku pun memilih jeda!!!
Kau tetap ada di sana…
memberiku isyarat untuk tetap bertahan

Ibu…kau basuh kesedihanku, kehampaanku dan ketidakberdayaanku
"Tiada lain kita hanya insan Sang Kuasa,
Memiliki tugas di bumi tuk menegakkan kalimatNya
Kita adalah jasad, jiwa, dan ruh yang terpadu
Untuk memberi arti bagi diri dan yang lain"
Kata-katamu laksana embun di padang gersang nuraniku
memberiku setitik cahaya dalam kekalutan berfikirku
Kau labuhkan hatimu untukku, dengan tulus tak berpamrih

Kusandarkan diriku di bahumu
Terasa…kelembutanmu menembus dinding-dinding kalbuku
Menghancurleburkan segala keangkuhan diri
Meluluhkan semua kelelahan dan beban dunia
Dan membiarkannya tenang terhanyut bersama kedalaman hatimu

Kutatap perlahan…
matamu yang membiaskan ketegaran dan perlindungan
Kristal-kristal lembut yang sedang bermain di bola matamu,
jatuh…setetes demi setetes
Kau biarkan ia menari di atas kain kerudungmu
Laksana oase di terik panasnya gurun sahara

Ibu…
Nasihatmu memberi kekuatan untukku
rangkulanmu menjadi penyangga kerapuhanku
untuk ,menapaki hari-hari penuh liku
…semoga semua itu tak akan pernah layu!

Ibu…
Dalam kelembutan cintamu, kulihat kekuatan
dalam tangis air matamu, kulihat semangat menggelora
dalam dirimu, terkumpul seluruh daya dunia!

Surat Untuk Adikku.........

Adikku, di suratmu kau katakan bahwa kau sendirian. Begitu pula dengan tetehmu ini. Adikku, di suratmu kau katakan bahwa kau sering menangis merindukan saudara-saudaramu, begitu juga denganku. Di suratmu kau tegaskan rasa sayangmu padaku, terlebih lagi tetehmu ini, sayang……padamu.
Adikku, hidup ini keras, kau tak boleh manja,. Jika ada tetehmu ini di sampingmu, kau tak akan bisa belajar. Adikku, jangan kau sandarkan hidupmu pada orang lain. Belajarlah mandiri, walaupun nanti akan kau temukan hal-hal baru yang menyakitkan maupun yang menyenangkan tapi di sana banyak pelajaran berharga untuk bekal kehidupanmu. Tetehmu belajar dari semua itu. Belajar menjalani hidup dengan kekuatan sendiri. Terkadang kesepian, terkadang aku ingin berontak meminta perhatian dan kasih sayang orang.
Kita tidak boleh egois adikku! Banyak hal yang harus difahami dalam hidup. Tetehmu ini dipaksa dewasa, meskipun kau tahu sifat asliku yang manja dan kekanak-kanakan, jadilah teteh seperti yang sekarang. Tetehmu ini seorang yang lemah, lembut juga sensitif tapi hidup mengajarkan sebaliknya. Adikku, sebuah karya besar terkadang lahir dari sebuah kepahitan. Bukannya teteh mengharapkan penderitaan, tapi teteh sekedar mengingatkan bahwa kita harus siap dengan kondisi apa pun. Adikku………sesuatu yang kita takuti akan tetap menjadi sebuah ketakutan sampai kita punya kemauan untuk melewati dan melawan ketakutan itu. Ketakutanmu akan kehilangan tetehmu akan hilang, jika teteh benar-benar pergi.
Kelak…akan kau temukan arti hidup. Dan di saat kau menemukannya, aku berharap masih bisa menatapmu. Matahari yang akan kau nikmati esok hari adalah matahari yang sama, yang kunikmati juga, tapi takdir dan kehidupan kita pastilah berbeda. Dan itu adalah sebuah keniscayaan. Setiap orang berjalan menurut ketentuanNya dan pilihan hidupnya masing-masing.

Thursday, February 10, 2005

Sama denganmu, dik!

Adikku…di suratmu kau katakan bahwa kau sendirian, begitu pula kakakmu ini. Adikku...di suratmu kau ceritakan bahwa kau sering menangis merindukan saudara-saudaramu, begitu juga aku. Di suratmu kau tegaskan rasa cintamu padaku, terlebih lagi aku, sangat cinta padamu.

Adikku…hidup ini keras, kau tak boleh manja, jika aku selalu ada di sisimu, kau tak akan pernah bisa belajar. Adikku…jangan kau sandarkan hidupmu pada orang lain. Belajarlah mandiri, walaupun nanti kau akan merasakan banyak kepahitan. Aku belajar dari semua itu, belajar menjalani hidup tanpa berpangku tangan, kadang aku berontak ingin perhatian dan kasih sayang. Kita tidak boleh egois, adikku! Banyak hal yang harus difahami dalam hidup. Kau tahu, aku dituntut untuk bersikap dewasa, meskipun kau mengenal sifat asliku yang manja dan kekanak-kanakan.

Aku seorang yang lemah juga sensitif, tapi ternyata hidup mengajarkan hal yang sebaliknya. Adikku, terkadang kearifan itu terlahir dari kesanggupan kita menjalani ujian hidup. Bukannya teteh mengharapkan penderitaan. Teteh sekedar mengingatkan, kita harus siap dengan kondisi apa pun. Adikku…sesuatu yang kita takuti, selamanya akan tetap menjadi sebuah ketakutan sampai kita punya keberanian untuk melewati dan melawannya. Ketakutanmu akan kehilangan tetehmu ini akan hilang jika teteh benar-benar pergi dan kau merelakan kepergianku.


Adikku, mentari yang kau nikmati setiap pagi adalah mentari yang sama yang kunikmati juga. Tapi perjalanan hidup kita tidak mesti sama, hidup ini adalah pilihan kita masing-masing dan Allah telah memberi ilmuNya pada kita. Di saat kau telah menemukan jati diri dan kebahagiaanmu, aku berharap aku masih bisa menatapmu. Dari jauh, kurangkaikan doa untukmu.

Penuh cinta, untuk adikku…


Teteh: sebutan orang Sunda untuk kakak perempuan

Wednesday, February 09, 2005

Nurani Seorang Perempuan

Kenapa perempuan sering menangis?
kenapa perempuan hanya bisa bersedih menyaksikan ketidakadilan?
kenapa perempuan diam membisu untuk menyatakan ketidaksetujuannya?
kenapa perempuan menangis ketika dia berduka, pun ketika dia bahagia?
kenapa perempuan tersenyum haru ketika ada yang menyayangi?
kenapa perempuan menangis?

menangis.........perempuan........menangis......
karena menangis adalah ekspresi jiwa seorang perempuan
karena menangis adalah bukti kelemahan perasaan perempuan
karena menangis adalah bukti kekuatan perasaan perempuan
karena dengan menangis, bisa ia luapkan semua kesedihannya
karena dengan menangis pula, ia bisa memperoleh kekuatan baru
untuk menapaki hidup, berjuang melawan kerasnya pengalaman
karena perempuan tahu.............
di pundaknya tersimpan tanggung jawab besar, menanggung beban dunia
melahirkan generasi penerus bumi

Tuesday, February 08, 2005

Mengenang Pesantren

Ketika langkah terakhir ini ku ayunkan
meninggalkan almamater yang penuh dengan kesan
menuju pintu gerbang perpisahan


Bila cerita suka dan duka mesti berakhir di sini
hati meronta dan rasa menggeliat ingin mengulangi
ada galau yang tertahan ada rindu yang terpendam
akankah kita akan kembali dalam kebersamaan?


Kini tak kan ada lagi senyummu, Ustadz
kehangatan perhatian dan tulusnya didikanmu
gelak tawa dan canda ria yang dicipta bersama
lautan ilmu dan pengalaman yang kau limpahkan,
akankah kami bisa mereguknya kembali?

Ya Allah,
Pemilik Lautan ampunan dan Menara kasih sayang
Berilah petunjuk pada setiap langkah kami
menuju cita dan cintaMu

Kepada guru dan adik-adikku,
kata terakhir dengan tulus kami haturkan
semoga Allah suatu saat kan mempertemukan
agar hilang selaksa duka dan kerinduan


Akhirnya,
kami mohon pamit dan mohon maaf atas segala kealfaan
Selamat tinggal....selamat tinggal
Iringilah langkah kami dengan doa.